Pengaturan hukum waris di Indonesia salah satunya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 852 KUHPerdata menentukan, bahwa orang-orang pertama yang menurut undang-undang berhak untuk menerima warisan adalah anak-anak dan suami atau istri hidup terlama. Bagian yang diterima oleh mereka adalah sama besar antara satu yang lainnya. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan juga tidak ada perbedaan antara yang lahir pertama kali dengan yang lahir berikutnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak-anak dan suami atau istri mendapat bagian yang sama besar di antara mereka.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya semua ahli waris berhak atas warisan untuk bagian yang sama besar, tanpa membedakan jenis kelamin maupun kewarganegaraan dari ahli waris. Jadi meskipun ahli waris adalah seorang Warga Negara Asing (WNA), ahli waris tersebut tetap berhak untuk menerima warisan dari pewaris yang berkewarganegaraan Indonesia (WNI).
Lalu, bagaimana jika ahli waris yang berstatus WNA mendapatkan warisan berupa rumah dengan status hak milik? Pasal 21 ayat (1) Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa: “Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik ”. Artinya, WNA di Indonesia tidak diperbolehkan untuk mempunyai tanah dan/atau bangunan dengan status hak milik.
Namun, meskipun WNA dilarang untuk mempunyai hak milik atau properti di Indonesia, Pasal 21 ayat (3) UUPA mengatur bahwa: “Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraanya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu.” Oleh karena itu, meskipun pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik, hal ini tidak melarang seorang WNA untuk mendapatkan warisan tanah dan/atau bangunan berstatus hak milik dari pewaris yang berstatus WNI. Seorang WNA boleh menerima warisan berupa tanah dan/atau bangunan yang berstatus hak milik (dalam hal ini rumah), tetapi dalam kurun waktu satu tahun WNA tersebut harus mengalihkan haknya atas tanah dan/atau bangunan tersebut kepada orang lain.
Dengan demikian, ahli waris yang berstatus WNA tetap berhak mendapatkan warisan rumah dari pewaris yang berstatus WNI. Namun, dalam kurun waktu satu tahun WNA tersebut harus mengalihkan haknya kepada orang lain yang berstatus WNI atau dapat juga meminta kepada Badan Pertanahan Nasional supaya tanah tersebut statusnya diturunkan menjadi hak pakai. Jangka waktu satu tahun ini merupakan ‘kesempatan’ yang diberikan oleh undang-undang bagi WNA. Apabila WNA tersebut sebagai ahli waris tersebut tidak melakukan perbuatan apa-apa atas rumah tersebut hingga lebih dari 1 tahun, tanah tersebut akan menjadi tanah negara.
Sumber hukum:
disadur dari : http://misaelandpartners.com/
LJ Hooker Imam Bonjol siap membantu Anda dalam melakukan transaski Jual Beli Anda.
Jl. Imam Bonjol, Semarang, Jawa Tengah
0243584308 – ljhimambonjol222@gmail.com
www.ljhimb.com
Pertama-tama perlu kami jelaskan dulu bahwa hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralisme karena pada saat ini masih berlaku tiga sistem hukum kewarisan yaitu:
Penggolongan ini bukanlah sesuatu yang mutlak, artinya para pihak diberikan ruang untuk memilih dan menyepakati hukum waris mana yang ingin mereka gunakan.
Karena pada pertanyaan tidak disebutkan hukum apa yang ingin digunakan oleh para ahli waris, kami akan menjelaskan dengan menggunakan Hukum Perdata saja.
Berdasarkan Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), apabila Pewaris meninggal dunia dan meninggalkan suami atau istri yang hidup terlama beserta anak atau keturunannya, mereka mewaris bagian yang sama besarnya. Ahli waris ini disebut sebagai ahli waris Golongan I. Oleh karena itu, berdasarkan pertanyaan, yang menjadi ahli waris adalah istri dan dua orang anak.
Setelah pewaris meninggal dunia, pewaris akan memberikan harta warisnya kepada ahli waris. Menurut Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Harta di dalam perkawinan terdiri dari dua, yaitu:
Apabila di antara suami dan istri tidak dibuat perjanjian kawin atau prenuptial agreement (atau biasa disebut dengan perjanjian pisah harta), harta yang ada di dalam perkawinan tergolong sebagai harta bersama. Oleh karena itu, harta bersama harus dibagi dua terlebih dahulu, sehingga ½ bagian adalah harta suami (Pewaris) dan ½ bagian adalah harta istri. Kemudian, ½ bagian harta suami ditambah dengan harta bawaan suami disebut sebagai harta peninggalan. Harta peninggalan inilah yang kemudian akan dibagi ke ahli waris, yaitu istri, anak pertama, dan anak kedua.
Apabila di antara suami istri ada perjanjian kawin, maka harta dianggap sebagai harta milik masing-masing sehingga harta suami (Pewaris) yang terdiri dari harta bersama dan harta bawaan langsung dibagi tiga, yaitu kepada istri dan dua anak.
Lalu bagaimana apabila kedua orang tua telah meninggal dunia? Apabila kedua orang tua meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak, maka kedua anak tersebut yang akan menjadi ahli waris Golongan I. Masing-masing anak akan mendapat bagian sama besar, yaitu ½ bagian dari harta Pewaris.
Sumber hukum:
Sumber : http://misaelandpartners.com/
LJ Hooker Imam Bonjol siap membantu Anda dalam melakukan transaski Jual Beli Anda.
Jl. Imam Bonjol, Semarang, Jawa Tengah
0243584308 – ljhimambonjol222@gmail.com
www.ljhimb.com
Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga timbul hubungan dalam perkawinan tersebut terutama harta perkawinan. Harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami-istri, khususnya apabila mereka bercerai. Harta perkawinan diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sebelum UU Perkawinan yang berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 secara nasional merubah seluruh hukum harta benda perkawinan dimulai dari tahun 1975.
Perkawinan yang dilakukan sebelum tahun 1975
Ketentuan dalam Pasal 119 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri.”
Dengan demikian, jika perkawinan dilakukan sebelum berlakunya UU Perkawinan, terjadilah percampuran harta di antara suami dan istri terhitung sejak perkawinan terjadi. Akibatnya harta istri menjadi harta suami, demikian pula sebaliknya. Inilah yang disebut sebagai harta bersama. Apabila terjadi perceraian, maka harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara suami dan istri. Pembagian terhadap harta bersama tersebut meliputi segala keuntungan dan kerugian yang didapatkan dan dilakukan oleh pasangan suami/istri tersebut selama dalam perkawinan.
Kecuali jika suami istri membuat perjanjian harta terpisah melalui Perjanjian Perkawinan (Huwelijke Voorwaarden) yang diatur dalam Pasal 139 KUHPerdata bahwa:
“Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini.”
Oleh karena itu, jika sebelum perkawinan telah dibuat perjanjian kawin terkait pemisahan harta yang mencakup seluruh harta bawaan dan harta perolehan antara suami istri tersebut, maka tidak dikenal istilah harta bersama (harta gono gini). Apabila terjadi perceraian, masing-masing suami/istri tersebut hanya memperoleh harta yang terdaftar atas nama masing-masing.
Perkawinan yang dilakukan sesudah tahun 1975 (setelah 1 oktober 1975)
Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; dan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dn harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Peraturan pada UU Perkawinan ini sedikit berbeda dengan pengaturan sebelum berlakunya UU Perkawinan. Dalam KUHPerdata, semua harta suami dan istri menjadi harta bersama, sedangkan dalam UU Perkawinan, yang menjadi harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta yang diperoleh sebelum perkawinan menjadi harta bawaan dari masing-masing suami dan istri. Harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Apabila terjadi perceraian, maka harta yang dibagi adalah ½ (setengah) dari harta bersama yag didapat selama perkawinan sehingga jika ingin menghitung harta peninggalan maka yang menjadi harta peninggalan adalah ½ (setengah) dari harta bersama + harta bawaan (pribadi) yang didapat sebelum perkawinan. Namun, jika ada Perjanjian Perkawinan, maka tidak akan ada harta bersama (gonogini).
Sumber:
Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Sumber : http://misaelandpartners.com/
LJ Hooker Imam Bonjol siap membantu Anda dalam melakukan transaski Jual Beli Anda.
Jl. Imam Bonjol, Semarang, Jawa Tengah
0243584308 – ljhimambonjol222@gmail.com
www.ljhimb.com
Dewasa ini, masih banyak orang yang memiliki pandangan bahwa perjanjian yang dibuat tanpa dibubuhi Meterai menjadi tidak sah di hadapan hukum. Apakah pandangan tersebut benar? simak penjelasan berikut.
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai, Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen. Meterai memiliki fungsi sebagai pengenaan pajak atas dokumen tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai yang mengatur bahwa Bea Meterai adalah pajak atas Dokumen. Pajak atas suatu dokumen ini termasuk sebagai objek pemasukan bagi kas negara.
Lebih lanjut, diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai bahwa Bea Meterai dikenakan atas:
Dokumen perdata yang dimaksud dalam huruf a di atas meliputi (diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai bahwa Bea Meterai) :
Maka dari itu Meterai bukanlah penentu terhadap suatu perjanjian menjadi sah atau tidak. Tidak adanya Meterai membawa akibat hukum bahwa dokumen tersebut tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti namun perbuatan hukum yang dilakukan tetaplah sah. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi:
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
Perjanjian yang dibuat tetaplah sah jika memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata. Dokumen yang tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti karena tidak dibubuhi Meterai dapat dilakukan Pemeteraian kemudian sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai.
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai
disadur dari : http://misaelandpartners.com/
LJ Hooker Imam Bonjol siap membantu Anda dalam melakukan transaski Jual Beli Anda.
Jl. Imam Bonjol, Semarang, Jawa Tengah
0243584308 – ljhimambonjol222@gmail.com
www.ljhimb.com
Pasti kita sering mendengar dan mungkin sebagian dari kita bingung atau bahkan ada yang mengganggap bahwa keempat istilah tersebut memiliki arti yang sama. Padahal, keempat istilah di atas mempunyai pengertian yang berbeda meskipun berkaitan satu sama lain.
Mari kita bahas satu persatu.
1. HIBAH
Hibah adalah pemberian suatu barang dari seseorang (pemberi hibah) kepada orang lain dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali. Pemberian barang ini dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup.
Perjanjian hibah bisa dilakukan secara lisan atau tertulis (Pasal 1687 KUHPerdata), kecuali untuk tanah dan bangunan harus dibuat secara tertulis menggunakan Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT (Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Barang yang dijadikan objek hibah bisa dalam bentuk barang bergerak (kendaraan bermotor, perhiasan, uang), bisa juga dalam bentuk barang tidak bergerak (tanah dan bangunan).
2. WARIS
Waris atau Pewarisan adalah peralihan harta benda milik pewaris kepada ahli waris. Pemberian harta waris dan pelaksanaannya dilakukan pada waktu pewaris telah meninggal dunia.
Pewarisan di Indonesia bersifat pluralisme karena terdapat tiga sistem hukum waris yang masih digunakan di Indonesia sampai saat ini, yaitu hukum waris Islam, hukum waris adat, dan hukum waris barat.
Ada 3 unsur dalam waris, yaitu :
3. WASIAT
Wasiat adalah salah satu cara pewarisan. Menurut Pasal 875 KUHPerdata, wasiat adalah akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut kembali (pada saat pemberi wasiat masih hidup). Pemberian wasiat diberikan pada saat pemberi wasiat masih hidup, tetapi pelaksanaannya dilakukan pada saat pemberi wasiat meninggal dunia.
Pasal 874 KUHPerdata menyatakan bahwa segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah. Ketetapan yang sah tersebut ialah surat wasiat. Artinya, jika ada surat wasiat yang sah, surat wasiat harus dijalankan oleh para ahli waris. Sebaliknya, apabila tidak ada surat wasiat, semua harta peninggalan pewaris adalah milik ahli waris.
Ada 2 jenis wasiat, yaitu :
a. Wasiat Pengangkatan Waris (erfstelling)
Pemberi wasiat memberikan harta kekayaannya dalam bentuk bagian (seluruhnya, setengah, sepertiga). Pemberi wasiat tidak menyebutkan secara spesifik benda atau barang apa yang diberikannya kepada penerima wasiat. (Pasal 954 KUHPerdata)
b. Hibah Wasiat (legaat)
Pemberi wasiat memberikan beberapa barang-barangnya secara spesifik dari suatu jenis tertentu kepada pihak tertentu. (Pasal 957 KUHPerdata).
Hukum perdata tidak menentukan apakah surat wasiat harus dibuat di bawah tangan atau akta otentik. Meski keduanya diperkenankan, pada praktiknya surat wasiat biasa dibuat dalam bentuk akta otentik oleh Notaris. Hal ini penting agar surat wasiat yang dibuat terdaftar pada Daftar Pusat Wasiat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENKUMHAM) RI dan diakui keberadaannya pada saat Surat Keterangan Waris dibuat.
4. HIBAH WASIAT
Banyak orang yang menganggap hibah wasiat dan wasiat adalah dua hal yang sama, padahal keduanya berbeda. Hibah wasiat adalah bagian dari wasiat. Dalam hibah wasiat, Pemberi Hibah Wasiat menjelaskan secara spesifik barang apa yang mau diwasiatkan. Hibah wasiat ini dapat ditarik kembali/dibatalkan pada saat pemberi masih hidup. Hibah wasiat dibuat pada saat Pemberi Hibah Wasiat masih hidup, tetapi pelaksanaannya dilakukan pada saat Pemberi Hibah Wasiat telah meninggal dunia.
SOURCE : https://www.aloysius-lawoffice.com/
Apakah Status Hak Pada Sertifikat Tanah Bapak/Ibu sudah Hak Milik ? atau masih Hak Guna Bangunan (HGB) ? atau bahkan belum bersertifikat (masih Girik) ?
Status tanah penting untuk dipahami agar tidak salah saat hendak membeli properti, baik itu untuk sepetak tanah kosong, rumah, ataupun apartemen. Tidak sedikit orang yang tertipu atau tidak puas atas hasil pembelian tanahnya. Hal tersebut terjadi salah satunya karena ketidakpahaman mereka atas status tanah.
Status kepemilikan tanah menjadi bukti tertulis yang mendapatkan pengakuan hukum. Keseluruhan hak atas tanah dibukukan dalam bentuk Sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Berikut ini beberapa jenis status kepemilikan tanah yang sering digunakan, diantaranya:
1. Sertifikat Hak Milik (SHM)
Hak milik merupakan hak individual primer yang bersifat perdata, terkuat, dan terpenuh yang bisa dimiliki turun-temurun tanpa ada batas waktu berakhirnya. Di atas tanah tersebut bisa dibebani hak sekunder yang lebih rendah, seperti : HGB, HGU, HP, dan Hak Sewa.
SHM dapat dipindahtangan melalui mekanisme jual-beli yang riwayatnya selalu tercatat dalam lembar SHM. SHM dapat dijadikan jaminan hutang sebagai sarana pembiayaan dengan dibebani hak tanggungan. Nilai tanah dengan SHM lebih tinggi dibanding SHGB. SHM dapat dihapus apabila tanah tersebut jatuh ke tangan Negara karena pencabutan hak, penyerahan sukarela oleh pemiliknya, tanah tersebut ditelantarkan dalam jangka waktu tertentu, atau tanah tersebut musnah karena bencana alam.
2. Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB)
HGB merupakan hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dalam jangka waktu maksimum 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun. Jika sudah lewat masanya, pengguna hak ini dapat mengajukan pembaruan hak selama 30 tahun lagi (tergantung kebijakan Pemerintah). HGB dapat dipindahtangankan. SHGB hanya bisa didapatkan oleh WNI dan perusahaan yang didirikan di bawah hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia. Status HGB dalam sertifikat dapat ditingkatkan menjadi HM sesuai ketentuan yang berlaku. SHGB juga dapat menjadi jaminan kepada pihak ketiga dan dapat digunakan dalam penyertaan modal. HGB dapat dicabut jika tanah tersebut dibutuhkan untuk pembangunan kepentingan umum.
3. Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU)
Hak yang diberikan hanya kepada Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia untuk mengusahakan tanah yang dikontrol langsung oleh negara untuk waktu tertentu. Pada umumnya, tanah tersebut merupakan tanah negara yang digunakan sebagai hutan tanaman industri, perkebunan, perikanan, atau pertanian. HGU hanya dapat diberikan atas tanah seluas minimum 5 ha, dengan catatan jika tanah yang bersangkutan lebih luas dari 25 ha, maka investasi Sistem Penguasaan Tanah dan Konflik serta pengelolaan usaha secara baik akan diberlakukan. HGU bisa dipindahtangankan. Jangka waktu HGU maksimum 25 tahun. HGU dapat dijadikan kolateral pinjaman dengan menambahkan hak tanggungan (security title).
4. Sertifikat Hak Pakai (HP)
Hak Pakai adalah hak untuk memanfaatkan, dan/atau mengumpulkan hasil dari tanah yang secara langsung dikontrol oleh negara atau tanah yang dimiliki individu lain yang memberi pemangku hak wewenang dan kewajiban sebagaimana dijabarkan di dalam perjanjian pemberian hak. Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, atau selama tanah dipakai untuk tujuan tertentu, dengan gratis, atau untuk bayaran tertentu, atau dengan imbalan pelayanan tertentu. Selain diberikan kepada WNI, hak pakai dapat diberikan kepada WNA yang tinggal di Indonesia. Selain itu, Hak Pakai juga bisa diberikan kepada instansi atas tanah negara, tanah hak pengelolaan serta tanah milik sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan dapat dipindah tangankan jika mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
5. Sertifikat Hak Atas Satuan Rumah Susun (SHSRS)
SHSRS berhubungan dengan kepemilikan seseorang atas rumah vertikal/ rumah susun/ apartemen yang dibangun di atas tanah dengan kepemilikan bersama. Pengaturan kepemilikan bersama ini digunakan sebagai dasar kedudukan atas benda tak bergerak yang menjadi objek kepemilikan di luar unit, seperti : taman, tempat parkir, sampai area lobi. Perpanjangan SHSRS dan SHGB atas tanah dapat dilakukan oleh Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) yang dibentuk oleh developer selambat-lambatnya 1 tahun sejak penyerahan unit.
6. Tanah Girik
Tanah ini merupakan tanah bekas hak milik adat yang belum didaftarkan atau disertifikasi pada Badan Pertanahan setempat. Girik bukan tanda bukti atas kepemilikan tanah, melainkan bukti bahwa pemilik girik adalah pembayar pajak (PBB) dan pengelola tanah milik adat atas bidang tanah tersebut serta bangunan di atasnya. Girik tidak dapat disamakan dengan sertifikat hak atas tanah seperti yang ada sekarang. Jadi jika Bapak/Ibu membeli tanah yang hanya dilengkapi surat girik, artinya belum ada kepastian hukum yang kuat kalau Bapak/Ibu merupakan pemiliknya. Umumnya, penguasa lahan dengan surat girik mendapatkannya dari warisan atau keluarga, walau ada juga yang melalui proses jual beli tanah girik. Tidak heran, surat yang memuat luas tanah, nomor, dan nama pemiliknya ini biasanya hanya disertai dengan Akta Jual Beli (bagi pembeli) atau Surat Waris.
Keenam jenis Hak Atas Tanah di atas adalah jenis-jenis hak yang sering kita dengar dalam dunia properti. Walaupun sebenarnya masih ada beberapa jenis Hak Atas Tanah (seperti : Hak Sewa, dll).
Dengan mengetahui Hak-Hak Atas Tanah tersebut diharapkan Bapak/Ibu semakin mengetahui kegunaan dan resiko dari masing-masing Hak atas Tanah tersebut. Sehingga, diharapkan Bapak/Ibu tidak salah langkah dalam melakukan transaksi properti.
SOURCE : https://www.aloysius-lawoffice.com/
LJ Hooker Imam Bonjol siap membantu Anda dalam melakukan transaski Jual Beli Anda.
Jl. Imam Bonjol, Semarang, Jawa Tengah
0243584308 – ljhimambonjol222@gmail.com
www.ljhimb.com
Pada prinsipnya, penjualan tanah atas nama salah satu pihak, baik istri maupun suami, diperlukan persetujuan dari pasangannya. Maksudnya, perlu ada tanda tangan persetujuan dari pasangan di Akta Jual Beli (AJB). Namun, yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah apakah tanah tersebut termasuk harta bawaan, harta perolehan atau harta bersama selama masa perkawinan mereka.
Karena harta dalam perkawinan itu ada 3 jenis, antara lain :
1. Harta Bawaan : Harta yang diperoleh/dibawa masing-masing suami/istri sebelum perkawinan. Harta ini akan menjadi hak dan di bawah penguasaan masing-masing suami/istri yang membawanya.
–> Pada saat ingin dijual, tidak perlu mendapat persetujuan dari pasangannya.
Misal : Istri mempunyai tanah yang diperolehnya sebelum menikah (sertifikat atas nama istri). Maka, pada saat ingin dijual, suami tidak wajib datang untuk penandatanganan AJB karena tidak perlu persetujuan menjual dari suami.
2. Harta Perolehan : Harta yang diperoleh masing-masing suami/istri selama perkawinan yang berasal dari hadiah, warisan atau hibah. Harta ini akan menjadi hak dan di bawah penguasaan masing-masing suami/istri yang memperolehnya.
–> Pada saat ingin dijual, tidak perlu mendapat persetujuan dari pasangannya.
Misal : Seorang Istri memperoleh hibah dari orang tuanya setelah ia menikah (sertifikat atas nama istri). Maka, pada saat ingin dijual, suami tidak wajib datang untuk penandatanganan AJB karena tidak perlu persetujuan menjual dari suami.
3. Harta Bersama : Harta yang diperoleh suami dan istri selama masa perkawinan. Harta ini akan menjadi hak dan di bawah penguasaan bersama suami dan istri.
–> Pada saat ingin dijual, perlu mendapat persetujuan dari pasangannya.
Misal : di dalam sertifikat atas nama istri. Maka, pada saat ingin dijual, suami wajib datang untuk penandatanganan AJB karena perlu persetujuan menjual dari suami.
Selain ke-3 faktor di atas, ada juga faktor yang menentukan perlu tidaknya persetujuan dari pasangan dalam penjualan properti, yaitu : ada tidaknya Perjanjian Perkawinan (Perjanjian Pra Nikah). Mengapa demikian ? karena biasanya di dalam perjanjian Pra Nikah tersebut, ditentukan pemisahan harta kekayaan perkawinan. Jadi harta yang diperoleh suami/istri berada di bawah kekuasaan masing-masing suami/istri yang memperolehnya sehingga tidak ada pencampuran harta perkawinan. Oleh karena itu, tidak diperlukan persetujuan dari pasangan suami/istri pada saat ingin menjual properti.
SOURCE : https://www.aloysius-lawoffice.com/
Dalam praktiknya, penjualan atas unit rumah yang masih terikat dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian pengalihan hak atau pengalihan utang (novasi). Yang dimaksud dengan perjanjian pengalihan hak tersebut adalah perjanjian untuk mengalihkan PPJB dari penjual kepada pembeli. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka pihak pembeli akan menggantikan posisi penjual di dalam PPJB atas pembelian rumah dari pengembang (developer) perumahan. Sehingga penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) akan dapat dilakukan langsung oleh pembeli dengan pengembang (developer).
Harus diperhatikan, bahwa untuk melakukan pengalihan PPJB biasanya wajib memenuhi syarat-syarat tertentu yang diatur dalam PPJB tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya Bapak/Ibu terlebih dahulu mengkaji ketentuan di dalam PPJB yang mengatur tentang pengalihan PPJB kepada pihak ke-3. Sebagai contoh, dalam praktiknya untuk mengalihkan PPJB, diperlukan surat persetujuan dari Developer atas pengalihan tersebut yang disertai dengan kewajiban untuk membayar biaya administrasi. Selanjutnya, karena rumah tersebut merupakan objek KPR dari Bank, maka terdapat beberapa alternatif yang dapat digunakan. Misalnya, sebelum atau bersamaan dengan ditandatanganinya pengalihan PPJB, maka Bapak/Ibu selaku Debitur dari Bank wajib melunasi seluruh utang KPR tersebut kepada pihak Bank. Selain itu, apabila terdapat jaminan Hak Tanggungan di atas tanah tersebut, maka Bapak/Ibu wajib melakukan Roya (penghapusan Hak Tanggungan). Terkait dengan cara di atas, Bapak/Ibu wajib mempelajari terlebih dahulu perjanjian KPR dengan pihak Bank.
Sedangkan alternatif lainnya yaitu dengan melakukan over kredit yang biasanya dilakukan dengan membuat surat perjanjian pengalihan utang (novasi). Over kredit dilakukan dengan cara pembaruan utang, yang mana Debitur Baru ditunjuk untuk menggantikan Debitur Lama. Dengan demikian, selanjutnya Debitur Baru lah yang akan membayar dan bertanggung jawab terhadap KPR atas rumah tersebut.
Setelah Perjanjian Pengalihan PPJB telah ditandatangani, kredit KPR telah dilunasi oleh Debitur Baru, dan seluruh persyaratan untuk menandatangani AJB dalam PPJB telah dipenuhi, maka Debitur Baru dapat menandatangani AJB di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
SOURCE : https://www.aloysius-lawoffice.com/
Ketika Anda membeli sebuah rumah dan mengajukan kredit (KPR) atau refinancing ke pihak Bank, maka pihak Bank akan meminta sertifikat rumah sebagai bukti jaminan kredit sebelum Anda melunasi cicilannya. Setelah mengajukan kredit dan disetujui oleh pihak Bank, Anda akan menandatangani Perjanjian Kredit (PK) sebagai bukti bahwa Anda telah setuju dengan persyaratan yang diberikan yang disertai dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat berdasarkan PK tersebut.
PPAT akan mengajukan pencatatan tanggungan ke Kantor Pertanahan (BPN). Selanjutnya BPN akan memberikan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang berisi informasi sesuai dengan yang tercantum di dalam APHT yang kemudian diserahkan ke pihak PPAT. SHT berguna sebagai tanda bukti bahwa objek tersebut telah menjadi hak tanggungan. SHT akan disimpan oleh Kreditur (pihak yang memberikan utang) sampai pembayaran utang selesai dilakukan oleh Debitur (pihak yang berhutang).
Pada saat utang telah selesai dilunasi oleh Debitur, maka Bank akan mengeluarkan Surat Keterangan Lunas yang disertai dengan Surat Roya yang di alamatkan pada Kantor Pertanahan (BPN) dimana di dalam surat tersebut terdapat permohonan agar catatan Hak Tanggungan segera dihapus.
Selanjutnya Surat Roya dan Sertifikat Hak Tanggungan akan diserahkan kembali kepada Debitur atau pemilik agar segera mengajukan permohonan pengahapusan Pembebasan Hak Tanggunan kepada Kantor Pertanahan.
Jika permohonan penghapusaan Pembebasan Hak Tanggungan yang disertai surat Roya telah Anda serahkan kepada pihak BPN, maka sertifikat Anda akan kembali bersih dan catatan hak tanggunan yang pernah dicatatkan oleh BPN akan dihapus sehingga Anda bebas dan bersih dari hak tanggungan.
Penghapusan Hak Tanggungan pada sertipikat itulah yang dinamakan Roya.
SOURCE : https://www.aloysius-lawoffice.com/
Pernahkah mendengar istilah legalisir Notaris, legalisasi atau waarmerking sebelumnya ?? Biasanya dalam pengurusan dokumen di Bank, atau pengurusan dokumen lainnya seringkali kita diminta untuk melakukan satu atau bahkan semua proses tersebut di atas. Kita sebagai orang awam pasti bingung dengan istilah-istilah tersebut, benar ?
Untuk itu mari kita bahas satu per satu istilah-istilah tersebut di atas :
1. Legalisir (Copy collationee)
Legalisir atau yang biasa disebut dengan istilah copy col adalah proses pencocokan dokumen fotocopy dengan dokumen aslinya. Notaris akan memberikan cap/stempel dan paraf di setiap halaman fotocopy dan pada halaman paling belakang, Notaris akan memberikan tanda tangan serta keterangan bahwa dokumen fotocopy tersebut sama dengan dokumen asli yang diperlihatkan di hadapan Notaris.
2. Legalisasi
Legalisasi adalah proses pengesahan tandatangan di hadapan Notaris. Dokumen tersebut biasanya dibuat di bawah tangan oleh pihak/para pihak tetapi penandatanganannya di hadapan Notaris. Dalam hal ini, Notaris hanya mengesahkan tandatangan pihak/para pihak bukan mengesahkan isi dari dokumen bawah tangan tersebut.
3. Waarmerking
Waarmerking adalah proses pendaftaran/register dokumen bawah tangan di buku khusus yang dibuat oleh Notaris, yang mana dokumen tersebut sudah dibuat dan ditandatangani oleh Pihak/Para Pihak sebelumnya.
Sebagai contoh, Surat Perjanjian Kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh Tuan A dan Tuan B pada tanggal 29 November 2011. Kalau kita melihat kasus di atas, dokumen perjanjian Kerjasama tersebut sudah di tandatangani oleh para pihak pada tanggal 29 November 2011, sehingga dokumen itu tidak dapat dilegalisasi tetapi hanya bisa di waarmerking / register di Kantor Notaris. Tujuan waarmerking itu sendiri, hanya sebagai bukti bahwa dokumen tersebut sudah pernah dibuat oleh para pihak dan sudah pernah di daftarkan di Notaris.
SOURCE : https://www.aloysius-lawoffice.com/
Penghasilan yang diperoleh dari kegiatan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa rumah, tanah, rumah susun, apartemen, kondominium, rumah kantor, gedung perkantoran, ruko, gudang, dan lain sebagainya pada dasarnya dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) yang sifatnya final.
Namun, apabila Anda merupakan seorang PKP, maka Anda wajib memungut PPN dan membuat faktur pajak atas pungutan tersebut. Artikel ini akan membantu Anda memahami PPN atas sewa tanah dan bangunan serta cara menghitungnya.
Pada dasarnya terdapat dua aspek perpajakan atas sewa tanah dan bangunan, yakni PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPN. Atas pembayaran biaya sewa tanah dan bangunan oleh suatu perusahaan, maka perusahaan wajib memotong dan menyetorkan PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 10% x seluruh biaya sewa. Pihak penyewa pun wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) ke pemilik tanah dan bangunan tersebut.
Sedangkan, pemilik tanah dan bangunan wajib menerbitkan faktur pajak atas pungutan PPN 10% x seluruh biaya sewa atas transaksi sewa tersebut.
Apabila pemilik tanah merupakan PKP, maka biaya sewa yang dibayarkan untuk satu periode/tahun tidak termasuk pajak PPN. Namun, apabila pemilik tanah bukan PKP, maka biaya sewa adalah uang sewa ditambah PPN yang telah dibayarkan. Artinya biaya sewa yang dibayarkan penyewa sudah mengandung unsur PPN di dalamnya.
Seperti yang sudah dikatakan pada poin sebelumnya, perusahaan yang menyewa suatu bangunan wajib menyetorkan PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 10%. Sedangkan perusahaan yang menyewakan bangunannya, apabila yang bersangkutan PKP, maka wajib memungut PPN 10% dan menerbitkan faktur pajak. Lalu, bagaimana cara menghitungnya? Mari simak contoh kasus di bawah ini.
Contoh kasus:
PT. Rubi menyewa sebuah bangunan dari PKP dengan harga Rp100.000.000 untuk jangka waktu 4 tahun. Maka PT. Rubi harus memotong PPh Pasal 4 ayat (2) dengan perhitungan sebagai berikut:
PPh Pasal 4 ayat (2): 10% x Rp100.000.000 = Rp10.000.000
Atas pemotongan tersebut, PT. Rubi melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas pemotongan tersebut. Kemudian PT. Rubi juga memberikan bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2).
Sedangkan, untuk PPN yang harus memotong adalah pihak penyewa gedung. PPN atas sewa tanah dan bangunan tersebut adalah Rp10.000.000 (PPN 10% x Rp10.000.000).
Jadi, untuk menghitung keseluruhan biaya sewa yang harus dibayarkan oleh PT. Rubi adalah: Biaya sewa selama 4 tahun + PPN – PPh Pasal 4 ayat (2).
Rp100.000.000 + Rp10.000.000 – Rp10.000.000 = Rp100.000.000/4 tahun
Jadi, biaya sewa selama 1 tahun diakui sebesar Rp25.000.000.
Nantinya PT. Rubi akan menerima bukti pembayaran sewa tanah dan/atau bangunan beserta faktur pajak yang dibuat oleh pihak yang menyewakan tanah dan/atau bangunan tersebut.
Punya tambahan aset berupa rumah? Yuk simak cara menghitung BPHTB-nya!
Cara menghitung BPHTB penting untuk Anda ketahui setiap kali memiliki tambahan aset berupa rumah, baik melalui jual beli tanah, hibah, maupun warisan. Selain itu, ketentuan mengenai bea ini terdapat dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi sehingga kita tidak boleh melalaikannya.
BPHTB atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pungutan yang dikenakan setiap kali terjadi perolehan hak atas tanah, bangunan, maupun rumah. Oleh karena itu, sangat penting bagi Anda untuk mengetahui cara menghitung BPHTB.
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan, hal ini telah diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2009 pada pasal 85 ayat (1).
Sebelum mempelajari cara menghitung BPHTB, terlebih dahulu Anda perlu mengetahui objek yang dikenakan oleh bea ini, yakni sebagai berikut.
Meskipun objek cakupannya cukup luas, namun terdapat perolehan hak atas tanah atau bangunan yang dikecualikan. Berikut ini daftarnya.
Sebelum mempelajari cara menghitung BPHTB, sangat penting bagi Anda untuk mengetahui tarif yang dikenakan, yakni sebesar 5% dari harga jual bangunan setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Selain itu, terdapat perbedaan antara NPOP dengan NJOP, yakni dari segi pihak yang menentukan nominalnya. Besaran NPOP ditentukan oleh kesepakatan pembeli dan penjual, sedangkan NJOP ditentukan pemerintah.
Nilai NPOP sangat mudah berubah karena ditentukan oleh kondisi wilayah. Apabila nilai NPOP lebih besar dari NJOP, maka yang digunakan dalam perhitungan adalah NPOP. Begitu pula sebaliknya.
Adapun NPOPTKP tiap daerah berbeda-beda tergantung situasi, sedangkan dalam pasal 87 ayat (4) UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, telah ditetapkan nominal NJOPTKP paling rendah senilai Rp60 juta untuk per wajib pajak. ( Semarang saat ini Rp. 80.000.000,- )
Namun, apabila perolehan hak tersebut berasal dari warisan atau hibah wasiat oleh orang yang masih memiliki hubungan darah, maka NPOPTKP ditetapkan paling rendah senilai Rp300 juta.
Cara menghitung BPHTB adalah dengan mengalikan tarif dengan NJOP atau NPOP. Tentunya NJOP dan NPOP tersebut harus sudah dikurangi oleh NJOPTKP atau NPOPTKP yang nilainya telah dijabarkan sebelumnya.
Adapun rumus dan cara perhitungan BPHTB adalah sebagai berikut.
BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP)
Agar Anda lebih memahami mekanisme perhitungannya, berikut ini cara menghitung BPHTB disertai dengan contoh.
Perhitungan ini tidak terhenti disini saja, dalam PP nomor 111 tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat, BPHTB terutang pada warisan hanya sebesar 50% dari hasil perhitungan.
Dengan demikian, BPHTB dalam contoh ini adalah senilai 50% x Rp35 juta, yakni Rp17.5 juta.
Setelah mengetahui cara menghitung BPHTB, ketahui juga syarat administratif untuk mengurus BPHTB berikut ini.
Setelah melakukan transaksi, berkas yang harus Anda siapkan adalah sebagai berikut
SSPD BPHTB.
Apabila ingin mengurus BPHTB untuk harta warisan atau hibah wasiat, dokumen yang disiapkan sama seperti pada jual beli, namun dengan tambahan Kartu Keluarga (KK) dan surat keterangan waris atau akta hibah
Nah itu tadi penjabaran mengenai cara menghitung BPHTB. Harapannya, ketika nanti Anda memiliki tambahan aset berupa bangunan, tak perlu bingung lagi mengenai biaya-biaya yang timbul. Sampai jumpa!
Disadur Dari Redaksi OCBC NISP
LJ Hooker Imam Bonjol siap membantu Anda dalam melakukan transaski Jual Beli Anda.
Jl. Imam Bonjol, Semarang, Jawa Tengah
0243584308 – ljhimambonjol222@gmail.com
www.ljhimb.com
Dalam setiap transaksi pembelian rumah, ada biaya-biaya yang harus disiapkan baik dari sisi Penjual maupun Pembeli. Selain biaya untuk legal fee (biaya legal), ada juga Pajak-Pajak yang harus dikelaurkan oleh Penjual maupun Pembeli.
Lalu berapa besarnya pajak penjual dan pembeli yang harus dikeluarkan ? Secara umum untuk transaksi jual beli normal, Penjual (biasa disebut PPH Final) dikenakan pajak sebesar 2.5%, sedangkan untuk Pembeli (biasa disebut BPHTB) dikenakan pajak sebesar 5%.
Bagaimana perhitungan Pajaknya ?
Untuk Pajak Penjual, 2,5% dikali dengan besarnya nilai transaksi atau nilai NJOP (tergantung mana yang lebih besar).
Untuk Pajak Pembeli, (Nilai transaksi atau NJOP mana yang lebih tinggi – Rp 60 jt) x 5%
Total keseluruhan yang harus dicadangkan saat kita ingin membeli rumah adalah 6% yang terdiri dari 5% untuk pajak dan 1% untuk legal fee (biaya Notaris, dll).
Lalu pertanyaannya sekarang : bagaimana jika dalam 1 tahun membeli rumah ke 2 ? Apakah perhitungan pajaknya sama?
Untuk Pembelian Rumah ke 2 dalam tahun yang sama, perhitungan pajaknya tidak dikurangi dengan Rp 60 jt. Jadi 5% x nilai transaksi atau nilai NJOP (mana yang lebih tinggi).
Source : https://www.aloysius-lawoffice.com/
Sering dengar istilah Uang Tanda Jadi (UTJ) atau DP saat beli properti ? Lalu apa bedanya ? Biasanya Uang Tanda Jadi itu hanya untuk tanda keseriusan Pembeli saat ingin beli properti. Sedangkan DP biasanya digunakan untuk pembayaran setelahnya dan nilainya biasanya lebih besar dibandingkan dengan nilai UTJ. Tentunya, baik saat mengeluarkan UTJ ataupun DP sudah ada resiko yang harus ditanggung oleh seorang Pembeli Properti sampai benar-benar rumah tersebut menjadi miliknya. Jangan sampai kita sudah mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar tapi tidak tau resiko apa saja yang bisa terjadi selama properti tersebut belum beralih.
Berapa nilai yang wajar untuk UTJ tersebut ? Lalu untuk DP sendiri kapan harus dikeluarkan ? dan harus diikat dengan apa agar sama-sama aman antara Penjual dan Pembeli ?
youtube : https://www.youtube.com/watch?v=1CPnh7isZ90
Source : https://www.aloysius-lawoffice.com/
Pada prinsipnya, Sebuah Badan Hukum (PT) dilarang menguasai tanah dengan status Hak Milik (HM), namun masih dapat menguasai tanah tersebut dengan status Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Pakai.
Masalah yang sering terjadi adalah tanah dan bangunan yang akan dibeli PT tersebut statusnya Hak Milik, bahkan sering juga tanah tersebut masih berupa tanah girik/belum bersertifikat.
Lalu apa yang harus dilakukan ?
Jika status tanah yang akan dibeli oleh PT tersebut statusnya Hak Milik/ Girik, maka harus diubah terlebih dahulu menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) baru setelah itu dapat dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) antara Penjual dan Pembeli.
Pertanyaan selanjutnya yang akan muncul ? Apakah aman dari sisi Penjual yang sudah mengeluarkan uang untuk proses perubahan Hak Milik menjadi HGB tersebut ?
Sebelum proses penurunan Hak tersebut, perlu dibuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) terlebih dahulu antara pihak Penjual dan Pembeli (PT). PPJB dapat dibuat secara notarial (di hadapan Notaris) maupun bawah tangan (hanya antara para pihak Penjual dan Pembeli). PPJB tersebut berisi kesepakatan janji antara kedua belah pihak.
Setelah proses perubahan Hak tersebut dilakukan, baru dapat dilakukan penandatangan Akta Jual Beli di hadapan Notaris (tentunya setelah melewati proses pengecekan sertifikat dan dokumen-dokumen lainnya serta identitas para pihak).
Source : https://www.aloysius-lawoffice.com/
Dalam dunia properti, khususnya saat ingin jual beli istilah PPJB dan AJB pasti sudah tidak asing lagi didengar bukan ? Lalu, apa itu PPJB dan AJB dalam dunia properti ?
PPJB atau yang biasa disebut dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan suatu perjanjian antara Penjual dan Pembeli sebelum mereka melakukan penandatanganan Akta Jual Beli di hadapan PPAT. PPAT dapat dibuat dibawah tangan atau dapat berupa notariil (akta yang dibuat dihadapan Notaris). PPJB ini berisi kesepakatan antara kedua belah pihak baik Penjual maupun Pembeli yang sifatnya sementara sampai ditandatanganinya akta jual beli. Biasanya PPJB akan dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh Para Pihak sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT.
Sedangkan AJB atau yang sering disebut dengan Akta Jual Beli merupakan akta otentik yang dibuat oleh PPAT untuk peralihan hak atas tanah dan bangunan. DItitik inilah terjadi peralihan hak dari Penjual kepada Pembeli. Pembuatan AJB dilakukan setelah seluruh pajak-pajak yang timbul karena jual beli sudah dibayarkan oleh para pihak sesuai dengan kewajibannya masing-masing.
Source : https://www.aloysius-lawoffice.com/
Dalam Transaksi jual-beli pasti pernah mendengar istilah PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli). Lalu apa itu PPJB ?
PPJB dibuat untuk melakukan pengikatan sementara sebelum pembuatan AJB (Akta Jual Beli) resmi di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Secara umum, PPJB adalah kesepakatan penjual untuk mengikatkan diri akan menjual kepada pembeli dengan disertai pemberian tanda jadi atau uang muka berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Umumnya PPJB dibuat di bawah tangan karena suatu sebab tertentu seperti pembayaran harga belum lunas, dll. Tetapi tidak menutup kemungkinan, PPJB dibuat dalam bentuk notariil (di hadapan Notaris).
Biasanya PPJB akan dibuat para pihak (Penjual-Pembeli) karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh Para Pihak sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT. Di dalam PPJB memuat perjanjian-perjanjian, seperti besarnya harga, kapan waktu pelunasan dan dibuatnya AJB. Dengan demikian PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli.
PPJB sendiri ada 2 macam, yaitu :
1. PPJB Lunas
PPJB lunas dibuat apabila harga jual beli sudah dibayarkan lunas oleh pembeli kepada penjual tetapi belum bisa dilaksanakan AJB,
karena beberapa faktor, antara lain : pajak-pajak jual beli belum dibayarkan, sertifikat masih dalam pengurusan dan lain-lain.
Dalam pasal-pasal PPJB tersebut dicantumkan kapan AJB akan dilaksanakan dan persyaratannya. Di dalam PPJB lunas juga
dicantumkan kuasa dari penjual kepada pembeli untuk menandatangani AJB, sehingga penandatanganan AJB tidak memerlukan
kehadiran penjual. PPJB lunas umum dilakukan untuk transaksi atas objek jual beli yang berada diluar wilayah kerja notaris atau PPAT
yang bersangkutan. Berdasarkan PPJB lunas bisa dibuatkan AJB di hadapan PPAT di tempat lokasi objek berada.
2. PPJB Tidak Lunas
Dibuat apabila pembayaran (sesuai harga transaksi) dari Pembeli belum lunas diterima oleh Penjual. Di dalam pasal-pasal PPJB tidak
lunas, sekurang-kurangnya dicantumkan jumlah uang muka yang dibayarkan pada saat penandatanganan akta PPJB tidak lunas
tersebut, cara atau termin pembayaran, kapan pelunasan dan sanksi-sanksi yang disepakati apabila salah satu pihak wanprestasi.
PPJB tidak lunas juga harus ditindaklanjuti dengan AJB pada saat pelunasan.
PPJB tidak lunas ini masih lebih beresiko dari sisi Penjual dan Pembeli dibandingkan PPJB lunas.
Source : https://www.aloysius-lawoffice.com/
Normalnya, proses jual-beli properti hanya butuh waktu dan cara yang sangat singkat dan sederhana, asalkan subjeknya jelas yaitu ada penjual (pihak yang namanya tertera pada sertipikat) dan pembeli, objeknya juga jelas yaitu rumah atau bangunan lainnya (properti nya) dilengkapi dengan legalitas.
Lalu, bagaimana jika Penjual masih memiliki tunggakan (outstanding) atau sertipikat tanah masih dalam jaminan ? Bagaimana cara aman bagi Pembeli jika ingin membeli rumah tersebut ?
Kejadian seperti ini sering terjadi di lapangan. Proses transaksi jual-beli pasti akan mengalami beberapa kendala jika kondisi sertipikat masih dalam jaminan, diantaranya :
– Tidak dapat melakukan pengecekan Sertipikat tanah di BPN karena dibutuhkan sertipikat asli, sedangkan proses transaksi jual-beli properti (penandatanganan
AJB) HARUS melalui proses pengecekan sertipikat.
– Penjual harus melunasi hutangnya terlebih dahulu kepada kreditur untuk dapat mengambil sertipikat tanah tersebut. Tidak jarang dalam kondisi seperti ini,
Pembeli yang akhirnya melunasi hutang penjual terlebih dahulu (dianggap sebagai DP) kepada kreditur agar asli sertipikat dapat diambil. Tapi kondisi
seperti ini akan menimbulkan masalah baru. Bagaimana jika Pembeli sudah mengeluarkan uang dalam jumlah besar (membantu Penjual untuk melunasi
hutangnya) tetapi Penjual justru kabur, susah ditemui, meninggal dll ? Apa jaminan bagi Pembeli ?
Biasanya, jika Pembeli (khususnya orang awam) mengalami kondisi seperti ini yang harus dilakukan pertama adalah konsultasi dengan Notaris (pihak netral
yang sudah disumpah untuk tidak memihak). Ketika Pembeli sudah mengeluarkan uang di awal untuk membantu Penjual melunasi hutangnya,
biasanya diikat dengan PPJB tidak lunas. Ini pun masih terlalu beresiko bagi Penjual maupun Pembeli dan tidak semua Notaris mau menangani pembuatan
PPJB tidak lunas tersebut.
Lalu setelah hutang Penjual dilunasi oleh Pembeli dan asli sertipikat sudah dikembalikan oleh Kreditur, sebaiknya dititipkan kepada pihak yang netral
(Notaris) oleh kedua belah pihak Penjual dan Pembeli sampai titik penandatangan AJB. Itupun pasti akan ada cost yang keluar sebagai
biaya penitipan. Tetapi itu adalah beberapa solusi yang dapat dilakukan dalam kondisi seperti di atas.
Untuk itu, sebelum membeli properti cari tahu terlebih dahulu informasilengkapnya terkait siapa yang berhak menjual, bagaimana kelengkapan
dokumennya, dll. Jangan sampai mengeluarkan uang dalam jumlah besar di awal sebelum tahu kelengkapan legalitas dokumennya.
Source : https://www.aloysius-lawoffice.com/
Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Pastikan untuk objek tanah yang ingin dibeli tersebut sudah bersertifikat.
Sertifikat yang dimaksud disini adalah Sertifikat Tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pastikan juga bahwa blanko (cover sertifikat) nya sudah yang terbaru. Jika tanah belum bersertifikat atau masih Girik seperti yang pernah dibahas dalam artikel sebelumnya akan membuat Bapak/Ibu tidak memiliki kepastian hukum yang kuat untuk kepemilikan properti tersebut.
2. Pastikan Pemilik (nama yang tertera di dalam Sertifikat Tanah) masih hidup.
Mengapa harus sedetail itu? Karena jika nama pemilik yang tertera pada sertifikat sudah meninggal, tentu Bapak/Ibu tidak bisa langsung melakukan transaksi pembelian properti atas objek tersebut.
Sertifikat harus terlebih dahulu dilakukan Balik Nama Waris ke atas nama semua ahli waris dari pemilik sertifikat. Setelah itu, baru bisa dilakukan transaksi Jual Beli dan Balik Nama ke atas nama Bapak/Ibu sebagai Pembeli Properti, tentunya dihadiri juga oleh seluruh ahli waris / persetujuan ahli waris.
3. Jika Sertifikat Masih Hak Guna Bangunan (HGB) Pastikan belum Expired
Jika sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) sudah expired, maka harus terlebih dahulu diproses Pembaharuan Sertipikat. Hal ini dilakukan untuk menghidupkan kembali sertipikat yang sudah expired masa berlakunya tersebut.
Jika sudah diperbaharui, maka baru bisa dilakukan transaksi pembelian properti.
4. Sertifikat Harus Bersih dari Hak Tanggungan.
Munculnya Hak Tanggungan (HT) pada sertifikat dikarenakan sertifikat tersebut pernah dijaminkan. Biasanya pemilik sertipikat sering lupa atau tidak tahu bahwa jika sudah dilakukan pelunasan jaminan sertipkat masih ada proses yang harus dilakukan, yaitu Roya atau penghapusan hak tanggungan.
Source : https://www.aloysius-lawoffice.com/
Please enter your username or email address. You will receive a link to create a new password via email.